banner 728x90

Jurnalis Bukan Musuh, RUU Penyiaran Bungkam Pers

Sejumlah wartawan mengumpulkan kartu Pers ketika berunjuk rasa sebagai aksi solidaritas atas tindak kekerasan terhadap jurnalis akibat pemberitaan, di Lhokseumawe, Aceh. 2020. ANTARA/Rahmad

Bengkulu, Delik Online- Sebanyak puluhan jurnalis tergabung dalam Koalisi Jurnalis Bengkulu Bersatu mengelar aksi unjuk rasa damai menolak Revisi UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, tentang Penyiaran (versi Maret 2024), sebab berpotensi mengancam kebebasan pers, demokrasi dan HAM. Aksi unjuk rasa ini digelar didepan Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Bengkulu, Rabu (29/5/2024).

Menariknya dalam aksi jurnalis yang tergabung dalam AJI Bengkulu, IJTI Bengkulu, AMSI Bengkulu, FKW KAHMI Bengkulu serta Radio dan UKM Cinematografi Universtas Dehasen Bengkulu ini membawa keranda mayat bertuliskan “Mayat Kebebasan Pers” serta
juga membubuhi tandatangan di atas spanduk banner polos.

banner 728x90

Bahkan tidak hanya itu juga dilakukan aksi tutup mulut menggunakan lakban hitam diartikan pembungkaman serta membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu, Yunike Karolina membeberkan, bahwa penolakan RUU Penyiaran versi Maret 2024, bukan tanpa alasan. Sebab RUU ini dinilai memuat sejumlah pasal problematik yang dapat mengancam kebebasan pers, berekspresi, demokrasi dan HAM.

Yunike menyebut, Pasal 50B ayat 2 huruf c yang mengatur pelarangan praktik jurnalisme investigasi. Sementara jurnalisme investigasi merupakan dasar dari jurnalisme profesional.

“Jika pasal ini disahkan, maka publik hanya mendapat informasi seadanya dan tidak liputan mendalam serta kontrol sosial menjadi terbatas,” katanya.

Ia juga menyebutkan, bila hal tersebut disahkan maka bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 4 ayat 2, pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Lalu, RUU Penyiaran pada Pasal 34 sampai 36.

“Kewenangan KPI untuk melakukan penyensoran dan pembreidelan konten di media sosial. Hal ini tentu mengancam kebebasan konten kreator maupun lembaga penyiaran yang mengunggah konten di internet. Selain itu konten siaran di internet wajib patuh pada Standar Isi Siaran (SIS) yang jelas-jelas mengancam kebebasan pers dan melanggar prinsip-prinsip HAM,” terangnya.

Pasal problematik lainnya, lanjut Yunike, Pasal 8 A ayat (1) huruf q, sengketa pers karya jurnalistik terutama penyiaran itu nantinya diselesaikan oleh KPI. Ini tentu bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang mana sengketa pers diselesaikan oleh Dewan Pers.

Kemudian, Pasal 51 E, sengketa pers akibat putusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan. Selanjutnya, Pasal 50B ayat 2K, pembungkaman kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik.

Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1), tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-uang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024.

Pada draf RUU Penyiaran ini, sampai Yunike, menghapus Pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran No 32/2002. Di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja.

“Kami minta agar hapus pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers, demokrasi dan HAM. Jangan bungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Tinjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran,” bebernya.(red)

banner 728x90
banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90
error: Content is protected !!